Asal Muasal Hadratus SYAIKH Muhammad Hasyim ASY’ARI – Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy’arie bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari (lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
Ia putra dari pasangan Kiai Asyari dan Nyai Halimah, Ayahnya Kyai Asyari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ia anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asyari punya nasab kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Setelah mengembara dari pesantren ke pesantren di Pulau Jawa, tepatnya usai mondok di Pesantren Darat, asuhan Kiai Sholeh Darat. Ia sungguh beruntung, selain bertemu dengan santri lain seperti Kiai Ahmad Dahlan (Darwis). Kiai Munawwir, Kiai Mahfudz Termasi dan lain sebagainya. Dari Kiai Soleh Darat ini, sanad keilmuannya sampai ke Rasulallah dan para Empu di Tanah Jawa.
Di Hijaz, Ia berguru pada Syaikh Nawawi Al-bantani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Sementara di Jawa, melalui Kiai Soleh Darat, ia mendapatkan ilmu keislaman yang sintesis dengan kearifan lokal, yang sandanya sampai ke Kanjeng Sunan Kalijaga, bahkan Empu Prapanca.
Silsilah Tentang Hadratus SYAIKH Muhammad Hasyim ASY’ARI
Cerita sanadnya itu demikian; atas perintah gurunya, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga diperintah menyadur naskah Kemandalaan-Majapahit, Silakrama karya Empu Prapanca, hasilnya adalah Serat Dewa Ruci. Kitab ini kemudian diajarkan kepada Sunan Bayat, hasilnya Nitibrata. Diajarkan kepada Ki Ageng Donopuro hasilnya Swakawiku.
Diajarkan kepada Kiai Hasan Besari hasilnya adalah Krama Nagara. Diajarkan kepada Kiai Anggamaya hasilnya adalah Dharmasunya. Diajarkan kepada Kiai Yosodipura I hasilnya Sana Sunu. Diajarkan kepada Kiai Katib Anom hasilnya adalah Wulang Semahan. Diajarkan kepada Kiai Shaleh Asnawi hasilnya adalah Dasasila.
Diajarkan kepada Kiai Sholeh Darat hasilnya adalah Sabilul Abid. Diajarkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari hasilnya adalah Adabul Alim wal Muta’alim.
Karena itu, tak mengherankan ada kedekatan subtantif antara ajaran Kiai Hasyim Asyari dalam Adabul Alim wal Muta’alim dengan Empu prapacanca, dengan Kitab Silakrama, terutama titik temu ada dalam bab tiga, adab murid kepada gurunya dan bab dua (a), naskah Lontar Empu Prapanca.
Baca Juga : Aturan dan Tata tertib Ziarah di Makan Gunung Jati di Cirebon
Beliau juga adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari adalah ulama yang tidak mau sedikit pun tunduk kepada penjajah, baik Belanda atau Jepang. Tetapi, begitu kolonial ada kesempatan untuk mendesak, langsung ia menyerukan kepada umat untuk menghidupkan agama dan ukhuwah. Inilah salah satu tipikal Kiai Hasyim dalam berpolitik.
Pada masa penjajahan itu, ia sering dibujuk Belanda untuk tunduk, namun selalu berhasil ditolaknya. Akibat sikapnya yang non-kooperatif terhadap Belanda ini, pesantren Tebuireng pernah dihancurkan Belanda.
Pada tahun 1913 intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun ia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya ia dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar.
Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1930an.
Pada sekitar tahun 1935, Belanda memainkan politik tipu muslihat. Gubernur Belanda bersikap melunak kepada pesantrennya. Pemerintah penjajah menawarkan bantuan.
Tidak cukup itu, Belanda mengumumkan akan memberikan gelar Bintang Perak kepada KH. Hasyim Asyari atas jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam. Tetapi gelar kehormatan dalam bidang pendidikan dan bantuan itu ia tolak. Penjajah Belanda tidak putus harapan.
Untuk kedua kalinya Kiai Hasyim Asy’ari didekati dengan melakukan lobi-lobi melalui orang-orang suruhan Belanda Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung.
Karena banyak umat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Pasukan Belanda tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Jauh hari sebelum kapal perang Jepang mendarat di Asia, Jepang sudah membuat propaganda yang menyebar ke telinga anak bangsa di seluruh tanah air tercinta.
Slogan “Jepang adalah Cahaya Asia, Jepang Pemimpian Asia dan Jepang Pelindung Asia” merupakan propaganda yang sangat memberikan hawa baru bagi bangsa yang sedang terjajah.
Japang datang, Belanda meradang. Konfrontasi tentara bermata sipit itu lawan Belanda, membuat sang penjajah kulit putih itu menyerah. Bala Tentara Jepang yang dipimpin oleh Imamura itu membuat Gubernur Belanda, Jenderal Van Starkenborgh bertekuk lutut saat ditangkap di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942.
Berita dari Kalijati itu kemudian menyebar ke seluruh pelosok Jawa bahkan nusantara. Anak bangsa Indonesia semakin yakin bahwa kemerdekaan semakin dekat, sehingga mereka semakin semangat meneriakkan pekik kemerdekaan.
Di Surabaya, sekretariat Nahdlatul Ulama menjadi semarak oleh orang-orang yang terlibat di kepengurusan. Gema tahlil membahana seiring geliat pengurus yang semakin tak sabar mendengarkan apa yang akan dititahkan Kiai Hasyim Asy’ari.
Masyarakat pun semakin berduyun-duyun berkerumun di depan gedung tersebut. Sebab mereka tahu akan ada tausiyah akbar oleh sang Kiyai yang penuh kharima itu.
“Saudara-saudaraku,” seru Kiai Hasyim Asy’ari di tengah-tengah tausiyahnya, “dalam kesempatan ini marilah kita merunduk sejenak, bertafakur dan tentu saja menyampaikan puja-puji kita kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah begitu banyak mencurahkan rahmat-Nya kepada kita. Salah satu caranya adalah dengan mendatangkan wasilah tentara Jepang untuk mengusir kompeni yang sudah bercokol selama kurang lebih delapan generasi.
Kita patut bersyukur, dan salah satu cara syukur kita adalah dengan mengisi kesempatan baik ini untuk menata negeri sendiri, membangun pranata madrasah- madrasah untuk menyokong kecerdasan umat, dan tentu saja kita tingkatkan hubungan baik ini dengan pemerintahan Jepang.”
Begitu seru Kiai Hasyim di atas mimbar dengan suara semangat yang meluap-luap, meletup-letup. Sebuah sikap apresiasi kepada Jepang, sebagaimana yang telah ditunjukkan pula oleh pemimpin nasionalis sekuler di hampir semua daerah.
Tak ketinggalan Bung Karno dan Bung Hatta juga menyerukan hal yang sama. Hal ini, baik langsung maupun tidak langsung, karena Jepanglah Belanda terusir dari pertiwi, dengan demikian Jepang mengurangi penderitaan rakyat yang sudah berabad-abad lamanya.
Akan tetapi, hari-hari belum genap satu bulan, harapan besar rakyat Indonesia untuk merdeka menjauh. Awal Juli 1942, Jepang yang pernah menjanjikan kepada Soekarno sebagai pemimpin GAPI untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang sah dan berdaulat utuh di bawah kibaran bendera merah-putih, kini janji itu mereka khianati dan justru terganti dengan kebijakan yang sangat mengejutkan.
Persis pada tanggal 15 Juli 1942, tiba-tiba Jepang membuat kebijakan yang sepihak berupa larangan terhadap semua gerakan sosial dan politik. Pada tengah malam di hari itu, banyak pemimpin revelosioner yang awalnya satu barisan dengan Jepang ditangkapi.
Bahkan polisi Jepang (Kempetai) dengan begitu saja mengambil tindakan yang aneh pada pribumi. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Hanya orang kaya saja yang punya baju yang terbuat dari kain. Itu pun kain seadanya, jauh dari layak.
Dampak dari kebijakan sepihak dan nyeleneh ini, rakyat pribumi pun sulit mendapat obat-obatan. Rumah-rumah sakit langka. Mereka yang menderita penyakit kudis, koreng, jumlahnya meningkat, karena sulit mendapatkan salep. Hampir saja tak ada anak- anak pribumi yang tidak berpenyakitan jenis ini.
Karena kelangkaan obat, sementara jumlah penyakit yang mendera anak semakin banyak, jadilah pribumi membuat obat salep sendiri dari berbagai macam jenis tumbuhan, dan dipoleskan ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Kelaparan melanda di mana-mana, dan karena tak kuat menahan lapar, banyak peibumi yang mengais makanan dari sisa makan orang Jepang. Saat itu tempat sampah menjadi tempat paling favorit bahkan orang berebut dengan cara ramai-ramai mengambil sisa makanan dari buangan makan orang Jepang. Dan kalau bukan rebutan makanan di tempat sampah, penjajah Jepang memerintahkan rakyat makan bekicot.
Banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondis yang sangat buruk.
Ribuan orang mati atau hilang. Tentara Jepang dengan paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi.
Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya siaran pemerintah Dai Nippon yang boleh didengarkan. Kalau sampai ketahuan rakyat mendengarkan siaran luar negeri pasti akan dihukum berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyat pun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara. Ratusan ribu tenaga kerja paksa atau disebut romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia.
Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha.
Jepang pun menggunakan cara paksa. Setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Birma dan beberapa negara lainnya.
Begitu banyak kebijakan aneh yang menyiksa pribumi dan dampak buruk ekonomi horisontal terus mendera silih berganti, tidak hanya terbatas pada kelangkaan makanan, standar kesehatan yang sangat rendah, kerja paksa, tetapi termasuk juga memperbudak para perempuan. Ribuan wanita Indonesia yang ditangkap dipaksa menjadi fujingkau atau yugun ianfu alias perempuan pemuas seks tentara Jepang.
Sekolah-sekolah juga dipaksa untuk tutup, dan buku serta kertas, pensil menghilang pula dari pasar. Akhirnya pribumi membuat buku tulis yang terbuat dari kertas merang. Pensilnya menggunakan arang, hingga sulit sekali menulis.
“Saudara-saudara, sekolahan dan madrasah tak boleh ditutup, sebab sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk mencerdaskan anak bangsa. Dan kita jadi sadarlah, ternyata orang kulit kuning, Jepang datang ke bumi pertiwi kita tidak hendak untuk membantu kita, tapi merebut kekuasaan dari Belanda untuk mereka sendiri!”
Begitulah seruan Kiai Hasyim di mana-mana, dan seruan itu juga menjadi topik besar-besaran di Soeara Nahdlatoel Oelama.
Lebih dari itu, Kiai Hasyim di media basis NU itu juga menjelaskan bahwa motif Jepang bersemangat untuk menguasai benua Asia adalah karena kebutuhan atas sumber enegi minyak bumi. Karena saat itu geliat industri di Jepang mulai naik, sementara negara-negara Barat yang diwakili oleh Amerika mengembargo minyak ke Jepang.
Dada Kiai Hasyim semakin miris saat tak lama kemudian Jepang menetapkan kebijakan untuk seikeirei, sebuah ritual atau upacara khas dengan cara membungkukkan badan ke istana kaisar pukul tujuh pagi. Hasyim melihat itu mirip rukuknya kaum muslimin, apalagi kiblatnya mengarah kepada Kaisar Jepang Tenno Heika, yang diyakini orang Jepang sebagai titisan Dewa.
“Saudara-saudaraku seiman dan sebangsa, membungkukkan badan serupa rukuk dalam shalat untuk menghadap ke Kaisar Jepang sebagai penghormatan, adalah bagian dari kemusyrikan. Karena itu haram hukumnya!” Teriak Kiai Hasyim lantang.
Kiai Hasyim Asy’ari juga memberikan fatwa haram teradap muslim pribumi untuk menyanyikan lagu kebangsaan “Kimigayo” dan mengibarkan bendera Hinomaru serta segala bentuk Niponisasi (serba Jepang).
Hari berikutnya, Kiai Hasyim menyerukan semua pribumi yang bekerja di Pabrik Gula yang saat itu dikuasai oleh Jepang, untuk mogok kerja hingga perekonomian nyaris lumpuh beberapa hari.
Tak berhenti di situ, Kiai Hasyim juga menyiapkan kader-kader Islam militan, dari para santri untuk ikut terjun ke milisi Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang diketuai oleh puteranya yang bernama Abdul Kholik.
Begitu juga sang kiai itu meminta dengan sangat agar setiap kaum muslimin bangsa ini di manapun berada bergabung bersama tentara Pembela Tanah Air (PETA), atau masuk gerakan Pandu Hisbul Wathan organisasi sayap Muhammadiyah. Akibat perlawananya ini,–sebagaimana yang kita tahu, –ia kemudian dimasukkan ke penjara dan disiksa, tetapi api perlawanannya, sedikitpun tak pernah padam.
Di antara kelebihan lain Kiai Hasyim Asy’ari adalah kemampuan menyampaikan keilmuan Islam dengan spirit nasionlisme dan kebangsaan, serta mampu membuat jaringan intelektual di seluruh Nusantara, terutama pulau Jawa.
Jaringan intelektual pertama dimulai dari para santrinya yang tersebar di berbagai daerah untuk membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh budaya asing seperti penjajah Belanda dan Jepang. Sebab, untuk membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual sebagai penggerak.
Bagi Kiai Hasyim Asy’ari, para intelektual jangan sampai terpecah-belah dan dibiarkan untuk diadu-domba, tapi harus kokoh dalam persatuan. Karena, Indonesia akan lemah jika intelektualnya tercerai-berai.
Untuk mewujukdan itu, iapun menjadi sosok penting dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, dan pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam juga mengangkat Kiai Hasyim Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia.
Melalui dua ormas ini, nasionalisme dan ukhuwah Islam bangkit, sehinga cita-cita bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, di antaranya dapat mudah terwujud. Maka, Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.
Awal Pendirian Pondok Pesantren Tebu Ireng
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, Beliau kemudiqn mendirikan sebuah pesantren yang kini bernama Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Pendirian Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang ini bertepatan pada 26 Rabi’ul Awal 1317 Hijriah. Saat itu, Mbah Hasyim baru pulang dari Makkah dan berkeinginan untuk membangun pesantren tidak jauh dari rumah orang tuanya di Tebuireng.
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang merupakan salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia dan telah banyak melahirkan para pejuang agama dan negara di bumi nusantara. Didirikan sejak 3 Agustus 1899, Pesantren Tebuireng kini telah menapaki usianya yang ke-120 tahun.
Tebuireng merupakan sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, berada pada kilometer 8 dari kota Jombang ke arah selatan. Pedukuhan ini lah yang kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan Mbah Hasyim.
“Mbah Hasyim saat itu baru pulang dari Makkah, beliau ingin mendirikan pesantren tidak jauh dari rumah orang tuanya, kurang lebih 4 atau 5 kilometer. Beliau mendirkan itu pada 1899,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng periode ke-7, KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah).
Mbah Hasyim mendirikan pesantren di Tebuireng karena saat itu masyarakat memiliki ketergantungan terhadap pabrik-pabrik milik orang-orang asing, terutama pabrik gula. Pabrik-pabrik tersebut memunculkan ketidakadilan sosial, pemiskinan, dan berbagai macam kriminalitas.
Selain itu, gaya hidup masyarakat Tebuireng saat itu juga jauh dari nilai-nilai agama. Kondisi inilah yang membuat Mbah Hasyim merasa prihatin. Dengan adanya pesantren di Tebuireng, Mbah Hasyim berharap bisa mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik.
Mbah Hasyim kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di Tebuireng. Awalnya, Mbah Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu berukuran 6×8 meter. Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian.
Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Mbah Hasyim bersama istrinya, Nyai Khadijah, sedangkan bagian depan dijadikan sebagai mushalla. Saat itu santrinya baru delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Keahlian Hasyim Asy’ari dalam bidang hadis dan tafsir menjadi daya tarik utama pesantren yang dirintisnya itu. Pada 1910, santri Tebuireng terus bertambah menjadi 200 orang, dan sepuluh tahun kemudian meningkat sekitar 2.000 santri.
Pada awal abad ke-20, Pesantren Tebuireng memiliki pengaruh yang sangat penting di Indonesia, sehingga santri yang mondok di Tebuireng semakin bertambah banyak. Melalui pesantren ini, Kiai Hasyim Asy’ari banyak mencetak para ulama besar yang kemudian mendirikan pondok pesantren di daerahnya masing-masing.
“Dalam tempo cepat berkembang, sehingga kemudian banyak orang yang cerdas dari berbagai tempat belajar ke Mbah Hasyim. Dan mereka-mereka inilah yang kemudian muncul sebagai kiai-kiai,” ucap Gus Sholah.
Berdasarkan data dari pemerintah Jepang pada 1942, jumlah santri dan ulama di Pulau Jawa sebanyak 25 ribu orang, yang mana semuanya itu pernah menyantri di Tebuireng. Di antara santri Tebuireng yang menjadi ulama besar adalah KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Chudori, KH Abdul Karim, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Maksum Ali, KH Adlan Ali, dan banyak lagi yang lainnya.
“Itu murid-muridnya Mbah Hasyim. Jadi itu orang-orang yang punya kemampuan tinggi, alim. Mereka ini yang kemudian mendirikan pesantren besar, bahkan lebih besar dari Tebuireng,” kata Gus Sholah.
KISAH KAROMAH HADRATUS SYAIKH HASYIM ASY’ARI
Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asyari, ketika Hasyim Asy’ari muda berangkat nyantri ke pesantren yang diasuh KH. Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan-Madura. Hasyim Asy’ari muda langsung di uji oleh sang guru.
Hasyim Asy’ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu, sementara Kyai Kholil terus mengawasi dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik sampai ke pucuk pohon bambu tersebut. Kyai Hasyim terus naik sesuai perintah gurunya itu. Ia tak peduli apakah pohon bambu itu melur (Patah/roboh) atau bagaimana. Yang jelas, beliau hanya patuh pada perintah gurunya.
Anehnya, begitu sampai di pucuk Kyai Kholil mengisyaratkan agar Kyai Hasyim langsung meloncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kyai Hasyim langsung meloncat. Ternyata beliau selamat.
Ada cerita yang menarik tatkala KH.M Hasyim Asy’ari “masih belajar” dengan KH. M Khalil. Suatu hari, Kyai Hasyim melihat Kyai Khalil gurunya lagi bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kyai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kyai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kyai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya.
Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kyai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kyai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kyai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya hati Kyai Khalil atas keberhasilan Kyai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kyai Hasyim menjadi sangat dekat dan disayang oleh Kyai Kholil.
Yang menarik, dua kyai besar ini sama-samatawadhu’rendah hati. Mereka sama-sama saling berguru. Kyai Hasyim terkenal sebagai ahli hadits. Biasanya Kyai Hasyim mengajarkan hadits itu pada santri sebulan penuh pada bulan ramadhan. Ternyata Kyai Kholil, meski dikenal sebagai guru Kyai Hasyim, ikut juga jadi santri ngaji kepada kyai Hasyim.
Kyai Kholil tidak merasa gengsi memperdalam ilmu meski kepada muridnya sendiri. Sebaliknya, beliau malah sangat menghormati Kyai Hasyim sebagai gurunya.
Tradisi (rendah hati) itu ternyata terus menurun ke generasi berikutnya. Gus Dur yang merupakan cucu dari Kyai Hasyim sangat menghormati keturunan Kyai Kholil. Begitu juga KH. Fuad Amin cicit dari Kyai Kholil sangat menghormati keturunan Kyai Hasyim.
“Kalau saya salaman mencium tangan Gus Dur langsung ditarik,”Fuad Amin.
Dan Kyai Hasyim senantiasa mendapatkan perhatian yang istimewa dan besar dari gurunya Kyai Kholil baik semasa beliau menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Perhatian tersebut terbukti dengan Kyai Kholil pemberian isyarah tongkat dan tasbih kepada muridnya Kyai Hasyim pada waktu beliau hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul
Kisah Kyai Hasyim Asy’ari dan Nabi Khidir
Imron adalah putera Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Kala itu Nabi Khidir menjelma sebagai orang berpenyakit yang menjijikkan. Orang itu tiba-tiba muncul entah datang darimana dan tiba-tiba saja minta gendong Kyai Imron, namun beliau menolak. Karena menolak orang itu lantas mendatangi Kyai Hasyim dan minta untuk di gendong beliau, waktu itu Kyai Hasyim masih mondok di pesantren Kyai Kholil.
Tanpa merasa risih dan jijik Kyai Hasyim menggendong orang tersebut dengan tulus, pada waktu hampir sampai di pesantren orang itu minta diturunkan. Orang tersebut kemudian berkata,”Sampaikan kepada Kyai Imron, bahwasanya saya ini adalah Nabi Khidir.”Setelah itu orang tersebut lenyap.
Begitu kabar ini disampaikan, Kyai Imron terkejut. Ia menyesal telah menolak menggendong orang berpenyakit itu yang tak lain adalah Nabi Khidir. Sejak itu, kabarnya, Kyai Imron bertekad untuk mencari Nabi Khidir. Ia terus mengembara untuk mencari Nabi Khidir, sebagai bentuk rasa permohonan maaf dan penyesalan beliau.
Semangat BerJihad KH Hasyim Asy’ari
Tepat pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH Hasyim Asyari mengumpulkan wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, diputuskan bahwa melawan penjajah sebagai perang suci dan hukumnya fardu ain. Saat ini populer dengan istilah resolusi jihad.
Setelah resolusi jihad dicetuskan, ribuan kyai dan santri bergerak ke Surabaya. Pada 10 November 1945 atau tepatnya dua minggu setelah resolusi jihad dikumandangkan, meletuslah peperangan sengit antara pasukan Inggris melawan tentara pribumi dan juga warga sipil yang cuma bersenjatakan bambu runcing. Konon, ini adalah perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara.
Menurut KH. Wahab hasbullah prinsip hidup KH Hasyim Asyari yaitu : “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, lelah dan istirahat”.
Salah satu prinsip semangat juang KH Hasyim Asy’ari di dasari dari hadist Rasulullah yaitu: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya” (Al-Hadist).
KH.Muhammad Hasyim Asy’ari senantiasa mengingatkan kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi Muhammad saw.
Itulah kharomah besar Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asyari yang telah Allah anugrahkan kepada beliau. Terkadang kita sering sering terpesona oleh kekeramatan, kehebatan dan kesaktian beberapa ulama atau kyai tertentu. Contoh seperti kisah jika ada Kyai yang bisa mendatangkan rizki secara tiba-tiba, bisa berada di suatu tempat yang sangat jauh dalam sekejap mata, bisa juga berada dalam suatu tempat yang berbeda secara bersamaan, mengetahui akan kejadian masa lalu dan juga mengetahui kejadian-kejadian yang akan terjadi, bisa terbang, mampu berjalan di atas air dan masih banyak lagi lainya. Itu membuat kita terkagum-kagum, padahal semua itu tiada mustahil dan sangatlah mudah bagi Allah.
Bagaimana pun hebatnya manusia hidup di dunia, pasti maut akan menjemputnya. Tak terkecuali, Hadratus Syaikh sebagai manusia biasa, beliau di panggil Allah SWT untuk selama-lamanya pada malam bulan Ramadhan. Tepatnya tanggal 3 Ramadhan 1366 H. atau 21 Juli 1947 M.sehingga tepat pada pukul 03.00 dini hari, Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un besarpun terjadi. Ulama’ yang paling disegani seantero jazirah Islam kala itu, telah menghadap ilahi rabbi dengan damai dan sentosa.
Meskipun semua masyarakat tahu tanggal wafatnya Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, namun karena wasiatnya, beliau tidak ingin di khouli (di peringati/dirayakan tiap tahun). Dan makam/kuburan beliau sangat sederhana, tiada bedanya dengan makam-makam umum,Subhanallah luar biasa.
Kepergian Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, bukan hanya membawa kesedihan untuk umat Islam di Indonesia, di negara luar pun ikut berduka. Mereka amat merasa kehilangan seorang tokoh dan figur yang mereka banggakan.
Semoga dengan kepergian Kyai Hasyim, muncullah Hasyim Asy’ari–Hasyim Asyari yang lain, baik dari dzuriyah, kerabat, santri, maupun kaum muslimin..Aamiin.
Khususon ila Hadhoroti Hadaratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Wa Ahli Baitihi Wa Ash-haabihi Wa Dzurriyyatihi Ajma’iin AL- FATIHA…
Wallahu’aklambhisshowab…
Sesungguhnya segala kebaikan itu datangnya dari Allah dan bila ada salah dan khilaf dari saya mohon di ma’afkan..
Dari berbagai sumber :
#wikipedia
#AgukIrawanMN
#Republika.co.id
#Merdeka.com
#MyhrobLADUNI
Facebook : Raden Ampo Pencinta Sejarah