Mengenal lebih dekat Mbah Kuwu Sangkan

Pangeran Cakra Buana menjadi penasehat utama. Oleh masyarakat Cerbon, beliau masih dianggap sebagai kuwu sepuh, dan dikenal dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.  Jangan ngaku orang Cirebon, kalau tak mengenal Mbah Kuwu Sangkan.

makam mbah kuwu sangkan
Sumber : Hamidgunawan.blogspot

Raden Walangsungsang

Terlahir dengan nama [Raden] Walangsungsang, anak sulung dari tiga bersaudara beserta [Nyi Dewi] Rara Santang atau Lara Santang (Yang kelak bernama Hj. Syarifah Muda’im, setelah ibadah Haji), dan [Raja] Sangara (Yang juga dikenal dengan nama Kian Santang).

Ayahnya adalah Raden Pamanah Rasa, pewaris tahta Pajajaran (Kerajaan Galuh Pakuwuan), yang kelak dikenal dengan dengan nama Prabu Siliwangi. Raden Pamanah Rasa adalah anak dari Prabu Anggalarang, Raja Kerajaan Galuh.

Ibunya bernama Nyi Subanglarang anak dari Syekh Quro (Kerawang). Syekh Quro atau Syekh Hasannudin adalah pemimpin (Kyai) pesantren Quro sekaligus pemimpin di wilayah pelabuhan Kerawang (Qurotul ‘Ain) bergelar Mangkubumi Jumajan Jati. Ternyata, dalam penelusuran berikutnya, Syekh Quro adalah juga seorang raja dari negeri seberang (Kemlaka atau Champa), yang meninggalkan tahta dan keluarganya untuk bertapa. Tempatnya bertapa kemudian diberi nama Nagari Singapura (Martasinga atau Mertasinga), yang menjadi bawahan Kerajaan Galuh. Di sana, beliau dikenal dengan nama Ki Gede[ng] Tapa, tanpa ada yang tahu asal-usul atau nama aslinya. Bertemu kembali dengan puterinya Subanglarang, yang terlahir dengan nama Subang Keranjang, saat puterinya hendak memperdalam agama islam di Pesantren Quro, yang dipimpinnya. (Dalam suatu kisah, diceritakan Syekh Quro mendarat di Kerawang bersama armada ekspedisi Laksamana Muhammad Cheng Ho atau Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong. Tapi dalam versi lain, mengatakan bahwa Syekh Quro dan Ki Gede Tapa adalah orang yang berbeda.)

Sebelum menikah dengan Subanglarang atau Subang Keranjang, Raden Pamanah Rasa telah menikahi sepupunya Nyi Ambet Kasih, putri dari Ki Gedeng Sedhang Kasih atau Ki Gede Sindang Kasih (pemimpin Negeri Surantaka, tetangga Negeri Singapura, yang juga bawahan Kerajaan Galuh. Versi lain mengatakan bahwa Galuh-lah bawahan Sindang Kasih). Ki Gede Sindang Kasih adalah adik dari Prabu Anggalarang. (Dalam suatu legenda, diceritakan bahwa Prabu Anggalarang pernah berkelana sebagai kera, yang dikenal dengan Lutung Kasarung, dan bertemu Puteri Purba Sari, yang kemudian menjadi permaisurinya.

Ki Samadullah

Dalam pengembaraan spiritualnya, Walangsungsang singgah di rumah Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Beberapa hari kemudian datanglah Rara Santang, yang juga meninggalkan keraton, untuk mencari kakaknya. Saking gembiranya bertemu sang adik, Walangsungsang memeluk dan mencium adiknya. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi Nyi Indang Geulis, puteri dari Ki Danuwarsih. Ki Danuwarsih sendiri melihat gelagat puterinya, dan merestui puterinya dinikahi Walangsungsang.

Bersama istri dan adiknya, Walangsungsang melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian bermukim di tempat Syekh Datuk Kahfi untuk memperdalam agama Islam. Di sana, Walangsungsang diberi nama Ki Samadullah. Syekh Datuk Kahfi atau dikenal juga dengan nama Syekh Idhopi, adalah penerus kepemimpinan pesantren Amparan Jati di Gunung Jati, menggantikan pemimpin pesantren sebelumnya bernama Syekh Nur Jati.

Mbah Kuwu Cirebon

Atas anjuran gurunya, Walangsungsang menemui Ki Gedeng Alang-alang (Ki Gede Pengalang-alang) untuk membuka daerah baru. Walangsungsang mendirikan Masjid Yang bernama Sang Tajug Jalagrahan, sebagai symbol pusat keagamaan, kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Pejalagrahan. Daerah yang baru dibuka ini awalnya bernama Tegal Alang-alang, kemudian dikenal juga dengan sebutan Kebon Pesisir, yang kelak dikenal sebagai pelabuhan Muara Jati. Lalu memindahkan pusat pemukiman ke pedukuhan Lemah Wungkuk. Dalam perkembangan berikutnya, dukuh Lemah Wungkuk menjadi sebuah kota, dengan dukuh atau kampung lain di sekitarnya, dan diberi nama kota Cirebon atau Grage. Walangsungsang dan Ki Gede Pengalang-alang adalah dwitunggal yang tak terpisahkan. Ki Gede Pengalang-alang mendapat sebutan Kuwu Cirebon I, sedangkan Walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon II. Dalam perkembangan berikutnya, Kuwu Cirebon II dikenal sebagai Mbah Kuwu Cirebon.

Hari jadi kota Cirebon ditandai pada tanggal 14 Kresna Paksa bulan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Tapi tak jelas benar, apakah itu pada saat membuka wilayah Tegal Alang-alang (Pelabuhan Muara Jati), saat pemindahan pusat pemukiman ke dukuh Lemah Wungkuk, atau saat mendirikan kota Kerajaan (Cirebon).

H. Abdullah Iman

Atas anjuran gurunya pula, Walangsungsang dan Rara Santang pergi ke Tanah Suci. Di Tanah Suci ini, Walang Sungsang berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Sedangkan adiknya, Rara santang, berganti nama menjadi Hj. Syarifah Muda’im.

Hj. Syarifah Muda’im kemudian menikah dengan Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Kelak akan melahirkan Maulana Syarif Hidayatullah atau dikenal juga dengan nama Sunan Gunung Jati.

Walangsungsang sempat mukim selama tiga bulan di Tanah Suci. Saat itulah beliau belajar tasawuf dari Haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh.

Pangeran Cakra Buana

Kembali ke tanah air, Walangsungsang mendirikan rumah besar. Tapi, tak berapa lama kemudian, terdengar kabar bahwa kakeknya, Ki Gede Tapa (ayah dari Subanglarang) wafat. Walangsungsang mendapat warisan berupa harta dan tahta di wilayah Mertasinga (Nagari Singapura), yang sebenarnya jatuh ke Subanglarang, ibunya.

Sedangkan syahbandar Karawang dan pesantren Quro, diteruskan oleh Musanuddin, cicitnya. Musanuddin dikenal pula dengan beberapa nama, diantaranya, Lebe Musa, Lebe Uca, Syekh Bentong atau Syekh Gentong. Lebe adalah gelar dari masyarakat yang diberikan bagi seorang penghulu agung. (Versi lain mengatakan bahwa Syekh Gentong adalah anak angkat Syekh Quro. Sedangkan penghulu pertama di Karawang adalah Syekh Ahmad, anaknya yang lahir dari pernikannya dengan Retna Sundari.)

Walangsungsang tidak meneruskan kekuasaan di Mertasinga. Beliau memboyong harta warisannya ke Cirebon. Rumah besar yang didirikannya, dijadikan keraton, yang kelak dikenal sebagai Keraton Pakungwati. Walangsungsang pun membentuk pasukan, sebagai Pakuwuan yang berdaulat, yang diberi nama Nagari Carubanlarang. Sejak saat itu, namanya menjadi Pangeran Cakra Buana atau Cakra Bumi.

Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, merestui dengan memberikan gelar Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.

(Versi lain mengatakan bahwa Walangsungsang mendirikan rumah besar, bersamaan dengan membangun Masjid Sang Tajug Jalagrahan atau Pejalagrahan atau Pesanggrahan.)

Mbah Kuwu Sangkan

Kedatangan Syarif Hidayatullah menandai era baru kekuasaan dan penyebaran Islam di Jawa Barat.

Setelah berguru di berbagai negara, kemudian tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggantikan Syekh Datuk Kahfi.

Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakra Buana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.

Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten.

Sementara itu Pangeran Cakra Buana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Caruban ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Pangeran Cakra Buana menjadi penasehat utama. Oleh masyarakat Cerbon, beliau masih dianggap sebagai kuwu sepuh, dan dikenal dengan nama Mbah Kuwu Sangkan.

Sumber : Dodi Nurdjaja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *